H
ari itu teman kami, Si Dali dan Alfonso, ditangkap po lisi. Menurut istilah polisi diamankan. Saya aku tahu hampir tengah malam. Jimi dan Leon yang beri tahu. Mereka mampir pada saat pulang habis nonton bioskop, demi mendengar bunyi mesin ketikku.
Aku sama sekali tidak kaget kalau ada orang ditangkap. Sejak bertahun-tahun silam aku sudah terbiasa mendengar peristiwa penangkapan. Ada karena indikasi PRRI. Kemudian karena indikasi PKI. Lalu, di waktu yang lain karena indikasi ekstrim kiri atau kanan. Di masa itu kota kami kesibaran "Peristiwa Malari" yang marak di Jakarta. Kemana-mana kami berkumpul selalu diinteli oleh oknum dari bebagai instansi.
Maka para sastrawan, terutama yang muda kian jadi keasyikan diinteli itu. Karena merasa diri penting. Karena merasa diri ada. Mereka bikin acara yang aksi-aksian, seperti baca puisi di lapangan terbuka waktu siang atau waktu malam pakai obor segala.
Aksi-aksian baca puisi itu selalu ramai dikunjungi. Menurut taksiranku sekarang setelah 30% pertambahan penduduk dari masa 20 tahun yang lalu, pengunjung hadir lebih dari tiga kali lebih banyak dibandingkan jika penyair baca puisi di Taman Budaya masa sekarang. Yang hadir di masa itu bukan hanya seniman, tetapi juga para simpatisan. Tidak kalah banyak orang lewat yang sekadar ingin tahu. Tentu saja para intel yang mengenakan jeket danu bergunting rambut cepak ikut juga berjubel.
Sebenarnya Si Dali dan Alfonso tidak berperan penting pada aksi-aksian itu. Namun keduanya selalu hadir. Kehadiran keduanya seperti memberi dukungan moral kepada mereka yang muda. Dan lebih-lebih Alfonso yang orang teater yang menjadi idola mereka. Kalau dia bicara pada forum diskusi, gayanya memukau, bahasanya teratur, kutipan pandangan filsuf dunia beruntun, meciutkan nyali yang hadir.
Nah, kembali ke awal cerita.Si Dali dan Alfonso ditangkap polisi sekeluar dari bioskop. Tidak diketahui alasan dan pasal-pasalnya. Mereka ditahan bukan dalam sel. Melain di asrama pelatihan polisi yang lagi kosong. Dan aku tidak kaget mendengarnya. Karena peristiwa penangkapan di masa itu bukan berita lagi. Alasan cuma satu. Yaitu indikasi menentang pemerintah. Kalau tidak dicurigai sebagai akstrim kiri tentu saja ekstrim kanan. Sedangkan sastrawan muda di kota kami menyebut diri mereka sebagai "ekstrim tengah". Karena selalu mendapat persoalan untuk mengisi bagian tengah badannya, yaitu perutnya, sebab tidak punya uang membeli nasi. Maka itu sebagai orang yang terbiasa lapar dalam zaman stabilitas politik dan ekonomi, sesungguhnya mereka bukanlah orang yang punya alasan untuk ditangkap. Termasuk Si Dali dan Alfonso.
Yang jadi pikiran ku ialah keterangan Jimi. Bahwa istri Alfonso sedang hamil berat. Sebagai sastrawan, praktisnya mereka merupakan penganggur. Kalau tulisan mereka di muat dalam koran lokal, paling-paling honornya sekedar pembeli rokok untuk seminggu. Kalau dikirim ke media nasional, naskahnya sering dikembalikan. Kalau dimuat berbulan-bulan menanti dan berbulan-bulan pula menunggu honornya. Tapi toh mereka hidup. Punya isteri dan beranak. Toh dari mulutnya tak henti-henti asap rokok mengepul. Sekali-sekali sempat juga nonton bioskop atau makan rujak dan es tebak di tepi laut.
"Anaknya bisa lahir prematur." kata istriku pagi-pagi setelah aku ceritakan peristiwa itu.
Menjelang tengah hari dua orang sastrawan muda yang paling aktif menggerakkan aksi-aksian baca puisi, Haris dan Neli, menemuiku. "Om, Si Ponco dan Si Dali ditangkap polisi tadi malam. Kita harus membuat sesuatu sebagai tanda simpati dan solider." kata Neli tanpa kata pengantar. Dia selalu menyebut nama Alfonso dengan Ponco.
"Jika keduanya ditangkap bukan masalah berat. Soekarno dan Hatta pernah ditangkap. Lalu mereka menjadi orang besar Tanah Air. Jadi presiden dan wakil presiden. Natsir ditangkap. Sjahrir ditangkap. Mochtar Lubis ditangkap. Itu risiko jadi orang besar." kata Haris pula.
"Jadi?"
"Istri Si Ponco hamil berat. Istri Si Dali harus pindah rumah karena kontraknya sudah dua bulan berakhir. Tadi pagi yang punya rumah sudah datang karena tahu Si Dali ditangkap. Dia memberi ultimatum harus bayar paling lama besok." kata Neli pula.
Pikiranku menjalar tentang situasi yang dihadapi istri kedua teman kami itu. Istri Alfonso memang tukang beranak terus. Dengan Alfonso bakal dua. Dengan suami pertamanya tiga. Bila dia harus masuk rumah sakit, biayanya bisa diatur kemudian, pikirku. Tapi istri Si Dali? Rumah kontrakan itu sebetulnya cuma pondok ukuran 3 X 4 meter, berdinding tadir dan berlantai papan dengan kolong rendah. Lokasinya memang di tengah kota. Akan tetapi letaknya terjepit oleh dua bangunan yang berbelakangan, di sebidang tanah seperti tidak bertuan. Dulunya sebuah pondok ronda. Kemudian jadi pos preman melakukan hal-hal yang tidak disukai penduduk. Ketika preman itu dapat diusir, Si Dali menempatinya.Sewa kontraknya memang tidak mahal. Namun dia harus membuat dapur di belakang rumah. Untuk kakus, dia gali lobang setiap hari bila malam tiba. Untuk mandi dia tampung air hujan dengan sebuah drum. Kalau tidak ada hujan, aku tidak tahu dimana mereka mandi. Tapi bagaimana dengan biaya hidup perempuan yang tidak punya sanak keluarga satu pun di kota itu, apabila Si Dali lama ditahan?
Kepada Haris dan Neli aku berikan nama beberapa orang yang aku yakin mau membuka dompetnya. Selain dari isi dompet, ada juga yang memberi rokok, biskuit, susu kalengan atau memberi bon untuk ditukar dengan beras. Setiap hari secara bergantian para sastrawan menjenguk kedua teman yang ditahan itu. Yang membingungkan tapi juga menggembirakan mereka, ada pula perwira polisi atau militer yang berkirim makanan kaleng atau rokok.
Aku tidak pernah menjenguk mereka. Tapi bersama istri, aku menyempatkan menjeguk istri mereka. Mereka menyambut kami dengan airmata berlinang. Istriku trenyuh sekali demi melihat tempat tinggal Si Dali yang pondok itu.
"Mengapa diam saja?" tanyaku ketika kami telah sampai di rumah lagi.
Istriku tidak menyahut. Dia terus membisu. Seselesai makan malam barulah dia berkata. "Aku tidak menduga rumah Si Dali seperti itu. Aku kira hidupnya sama dengan kita, jika aku ingat pada obrolannya tentang politik, tentang kebudayaan, tentang filsafat setiap datang ke sini. Apa dia betul-betul orang miskin?"
Karena aku tidak menyahut, dia bertanya lagi. "Apa jadi seniman itu pekerjaan atau hobi atau apa?"
Karena aku tidak menyahut juga dia berkata lagi. "Atau semacam kegilaan yang mengasyikan saja?"
Hampir dua bulan Si Dali dan Alfonso mendekam di tahanan polisi. Ditanyai satu jam setiap hari. Terkecuali hari Minggu. Mereka dikasi makan cukup. Dibiarkan main catur. Bila bersama pengawal mereka main domino sampai lewat tengah malam. Sambil tertawa, bergurau atau saling meledek. Ketika dibebaskan kulit mereka cerah karena jarang kena sinar matahari,
"Enak juga jadi tahanan seperti itu. Kalau ditahan lebih lama lagi, maulah aku." kata Si Dali.
"Dimana letak kebebasan yang kau perjuangkan?" tanya Neli ketus dengan seringai bibir yang sudah aku kenal benar.
"Tinggal di luar begini tak ubahnya kita tinggal di hutan larangan. Kemiskinan dan kelaparan memenjarakan kita tak henti-hentinya." jawab Si Dali.
"Begitu?" kata Haris.
"Istriku suka kalau aku ditahan lagi. Selama aku ditahan, katanya, dia tidak pernah kekurangan beras, kekurangan uang. Malah dapat juga meminjamkannya pada tetangga. Setiap hari ada saja orang datang memberi apa-apa. Tapi setelah aku dibebaskan, semua pemberian stop. Bayangkan."
"Selama dua bulan ditahan, apa kau menulis?" tanya Neli.
Si Dali menggeleng seperti orang tertangkap basah.
"Si Ponco?"
"Juga tidak."
Neli menyeringaikan ejekan lagi dan merentak pergi membawa seringai bibirnya.
Haris dan Neli kehabisan tugas yang selama dua bulan dia urus terus-menerus. Istri Alfonso telah melahirkan anak laki-laki. Istri Si Dali kembali ke rumah orangtuanya di desa di kaki Gunung Talamau karena tidak betah hidup tanpa jaminan masa depan yang baik. Dunia seperti telah aman seaman-amannya untuk semua. Tapi dunia yang aman seaman-amannya itu tidak ubahnya seperti lampu yang hampir padam karena kehabisan minyak. Menunggu waktu. Sastrawan muda yang dipelopori Haris dan Neli, tidak lagi baca-baca puisi, tidak lagi melakukan wirid diskusi mingguan.
"Mengapa begitu?" tanyaku ketika kami berjumpa.
"Entahlah. Kami seolah kehilangan motivasi." jawannya lesu. "Tak ada gairah."
Bertahun-tahun kemudian aku ketemu Si Dali. Wajahnya ceria. Kulitnya sebersih pakainnya. Jauh berbeda dibadingkan dengan masa-masa dia aktif bersama para sastrawan dulu. Dan ketika aku ingtakan pada masa dia ditangkap dulu, dia tertawa.
"Masa itu bukan semacam permainan hidup, melainkan semacam hidup yang dipermainkan." katanya kemudian.
"Maksudmu?" tanyaku.
ari itu teman kami, Si Dali dan Alfonso, ditangkap po lisi. Menurut istilah polisi diamankan. Saya aku tahu hampir tengah malam. Jimi dan Leon yang beri tahu. Mereka mampir pada saat pulang habis nonton bioskop, demi mendengar bunyi mesin ketikku.
Aku sama sekali tidak kaget kalau ada orang ditangkap. Sejak bertahun-tahun silam aku sudah terbiasa mendengar peristiwa penangkapan. Ada karena indikasi PRRI. Kemudian karena indikasi PKI. Lalu, di waktu yang lain karena indikasi ekstrim kiri atau kanan. Di masa itu kota kami kesibaran "Peristiwa Malari" yang marak di Jakarta. Kemana-mana kami berkumpul selalu diinteli oleh oknum dari bebagai instansi.
Maka para sastrawan, terutama yang muda kian jadi keasyikan diinteli itu. Karena merasa diri penting. Karena merasa diri ada. Mereka bikin acara yang aksi-aksian, seperti baca puisi di lapangan terbuka waktu siang atau waktu malam pakai obor segala.
Aksi-aksian baca puisi itu selalu ramai dikunjungi. Menurut taksiranku sekarang setelah 30% pertambahan penduduk dari masa 20 tahun yang lalu, pengunjung hadir lebih dari tiga kali lebih banyak dibandingkan jika penyair baca puisi di Taman Budaya masa sekarang. Yang hadir di masa itu bukan hanya seniman, tetapi juga para simpatisan. Tidak kalah banyak orang lewat yang sekadar ingin tahu. Tentu saja para intel yang mengenakan jeket danu bergunting rambut cepak ikut juga berjubel.
Sebenarnya Si Dali dan Alfonso tidak berperan penting pada aksi-aksian itu. Namun keduanya selalu hadir. Kehadiran keduanya seperti memberi dukungan moral kepada mereka yang muda. Dan lebih-lebih Alfonso yang orang teater yang menjadi idola mereka. Kalau dia bicara pada forum diskusi, gayanya memukau, bahasanya teratur, kutipan pandangan filsuf dunia beruntun, meciutkan nyali yang hadir.
Nah, kembali ke awal cerita.Si Dali dan Alfonso ditangkap polisi sekeluar dari bioskop. Tidak diketahui alasan dan pasal-pasalnya. Mereka ditahan bukan dalam sel. Melain di asrama pelatihan polisi yang lagi kosong. Dan aku tidak kaget mendengarnya. Karena peristiwa penangkapan di masa itu bukan berita lagi. Alasan cuma satu. Yaitu indikasi menentang pemerintah. Kalau tidak dicurigai sebagai akstrim kiri tentu saja ekstrim kanan. Sedangkan sastrawan muda di kota kami menyebut diri mereka sebagai "ekstrim tengah". Karena selalu mendapat persoalan untuk mengisi bagian tengah badannya, yaitu perutnya, sebab tidak punya uang membeli nasi. Maka itu sebagai orang yang terbiasa lapar dalam zaman stabilitas politik dan ekonomi, sesungguhnya mereka bukanlah orang yang punya alasan untuk ditangkap. Termasuk Si Dali dan Alfonso.
Yang jadi pikiran ku ialah keterangan Jimi. Bahwa istri Alfonso sedang hamil berat. Sebagai sastrawan, praktisnya mereka merupakan penganggur. Kalau tulisan mereka di muat dalam koran lokal, paling-paling honornya sekedar pembeli rokok untuk seminggu. Kalau dikirim ke media nasional, naskahnya sering dikembalikan. Kalau dimuat berbulan-bulan menanti dan berbulan-bulan pula menunggu honornya. Tapi toh mereka hidup. Punya isteri dan beranak. Toh dari mulutnya tak henti-henti asap rokok mengepul. Sekali-sekali sempat juga nonton bioskop atau makan rujak dan es tebak di tepi laut.
"Anaknya bisa lahir prematur." kata istriku pagi-pagi setelah aku ceritakan peristiwa itu.
Menjelang tengah hari dua orang sastrawan muda yang paling aktif menggerakkan aksi-aksian baca puisi, Haris dan Neli, menemuiku. "Om, Si Ponco dan Si Dali ditangkap polisi tadi malam. Kita harus membuat sesuatu sebagai tanda simpati dan solider." kata Neli tanpa kata pengantar. Dia selalu menyebut nama Alfonso dengan Ponco.
"Jika keduanya ditangkap bukan masalah berat. Soekarno dan Hatta pernah ditangkap. Lalu mereka menjadi orang besar Tanah Air. Jadi presiden dan wakil presiden. Natsir ditangkap. Sjahrir ditangkap. Mochtar Lubis ditangkap. Itu risiko jadi orang besar." kata Haris pula.
"Jadi?"
"Istri Si Ponco hamil berat. Istri Si Dali harus pindah rumah karena kontraknya sudah dua bulan berakhir. Tadi pagi yang punya rumah sudah datang karena tahu Si Dali ditangkap. Dia memberi ultimatum harus bayar paling lama besok." kata Neli pula.
Pikiranku menjalar tentang situasi yang dihadapi istri kedua teman kami itu. Istri Alfonso memang tukang beranak terus. Dengan Alfonso bakal dua. Dengan suami pertamanya tiga. Bila dia harus masuk rumah sakit, biayanya bisa diatur kemudian, pikirku. Tapi istri Si Dali? Rumah kontrakan itu sebetulnya cuma pondok ukuran 3 X 4 meter, berdinding tadir dan berlantai papan dengan kolong rendah. Lokasinya memang di tengah kota. Akan tetapi letaknya terjepit oleh dua bangunan yang berbelakangan, di sebidang tanah seperti tidak bertuan. Dulunya sebuah pondok ronda. Kemudian jadi pos preman melakukan hal-hal yang tidak disukai penduduk. Ketika preman itu dapat diusir, Si Dali menempatinya.Sewa kontraknya memang tidak mahal. Namun dia harus membuat dapur di belakang rumah. Untuk kakus, dia gali lobang setiap hari bila malam tiba. Untuk mandi dia tampung air hujan dengan sebuah drum. Kalau tidak ada hujan, aku tidak tahu dimana mereka mandi. Tapi bagaimana dengan biaya hidup perempuan yang tidak punya sanak keluarga satu pun di kota itu, apabila Si Dali lama ditahan?
Kepada Haris dan Neli aku berikan nama beberapa orang yang aku yakin mau membuka dompetnya. Selain dari isi dompet, ada juga yang memberi rokok, biskuit, susu kalengan atau memberi bon untuk ditukar dengan beras. Setiap hari secara bergantian para sastrawan menjenguk kedua teman yang ditahan itu. Yang membingungkan tapi juga menggembirakan mereka, ada pula perwira polisi atau militer yang berkirim makanan kaleng atau rokok.
Aku tidak pernah menjenguk mereka. Tapi bersama istri, aku menyempatkan menjeguk istri mereka. Mereka menyambut kami dengan airmata berlinang. Istriku trenyuh sekali demi melihat tempat tinggal Si Dali yang pondok itu.
"Mengapa diam saja?" tanyaku ketika kami telah sampai di rumah lagi.
Istriku tidak menyahut. Dia terus membisu. Seselesai makan malam barulah dia berkata. "Aku tidak menduga rumah Si Dali seperti itu. Aku kira hidupnya sama dengan kita, jika aku ingat pada obrolannya tentang politik, tentang kebudayaan, tentang filsafat setiap datang ke sini. Apa dia betul-betul orang miskin?"
Karena aku tidak menyahut, dia bertanya lagi. "Apa jadi seniman itu pekerjaan atau hobi atau apa?"
Karena aku tidak menyahut juga dia berkata lagi. "Atau semacam kegilaan yang mengasyikan saja?"
Hampir dua bulan Si Dali dan Alfonso mendekam di tahanan polisi. Ditanyai satu jam setiap hari. Terkecuali hari Minggu. Mereka dikasi makan cukup. Dibiarkan main catur. Bila bersama pengawal mereka main domino sampai lewat tengah malam. Sambil tertawa, bergurau atau saling meledek. Ketika dibebaskan kulit mereka cerah karena jarang kena sinar matahari,
"Enak juga jadi tahanan seperti itu. Kalau ditahan lebih lama lagi, maulah aku." kata Si Dali.
"Dimana letak kebebasan yang kau perjuangkan?" tanya Neli ketus dengan seringai bibir yang sudah aku kenal benar.
"Tinggal di luar begini tak ubahnya kita tinggal di hutan larangan. Kemiskinan dan kelaparan memenjarakan kita tak henti-hentinya." jawab Si Dali.
"Begitu?" kata Haris.
"Istriku suka kalau aku ditahan lagi. Selama aku ditahan, katanya, dia tidak pernah kekurangan beras, kekurangan uang. Malah dapat juga meminjamkannya pada tetangga. Setiap hari ada saja orang datang memberi apa-apa. Tapi setelah aku dibebaskan, semua pemberian stop. Bayangkan."
"Selama dua bulan ditahan, apa kau menulis?" tanya Neli.
Si Dali menggeleng seperti orang tertangkap basah.
"Si Ponco?"
"Juga tidak."
Neli menyeringaikan ejekan lagi dan merentak pergi membawa seringai bibirnya.
Haris dan Neli kehabisan tugas yang selama dua bulan dia urus terus-menerus. Istri Alfonso telah melahirkan anak laki-laki. Istri Si Dali kembali ke rumah orangtuanya di desa di kaki Gunung Talamau karena tidak betah hidup tanpa jaminan masa depan yang baik. Dunia seperti telah aman seaman-amannya untuk semua. Tapi dunia yang aman seaman-amannya itu tidak ubahnya seperti lampu yang hampir padam karena kehabisan minyak. Menunggu waktu. Sastrawan muda yang dipelopori Haris dan Neli, tidak lagi baca-baca puisi, tidak lagi melakukan wirid diskusi mingguan.
"Mengapa begitu?" tanyaku ketika kami berjumpa.
"Entahlah. Kami seolah kehilangan motivasi." jawannya lesu. "Tak ada gairah."
Bertahun-tahun kemudian aku ketemu Si Dali. Wajahnya ceria. Kulitnya sebersih pakainnya. Jauh berbeda dibadingkan dengan masa-masa dia aktif bersama para sastrawan dulu. Dan ketika aku ingtakan pada masa dia ditangkap dulu, dia tertawa.
"Masa itu bukan semacam permainan hidup, melainkan semacam hidup yang dipermainkan." katanya kemudian.
"Maksudmu?" tanyaku.
"Masa itu, rupanya orang-orang intel kewalahan menghadapi tingkah laku sastrawan muda. Mau dilarang tidak ada alasan. Dibiarkan terus, dikhawatirkan iklim bisa rawan. Lalu kami, yang tua-tua ditahan. Lalu anak-anak muda itu mereka gerakkan mencari sumbangan solidaritas kemana-mana. Maka kesibukan mereka beralih karena kegairahan mendapat simpati. Demonstrasi baca puisi berhenti. Dan memang sesudah peristiwa itu sampai sekarang tidak ada lagi sastrawan baca-baca puisi." kata Si Dali dengan gaya bicara yang ringan, seolah-olah dia tidak pernah mengalami kesulitan apapun.
"Formalnya kau ditangkap atas tuduhan apa?" tanyaku.
"Tak ada."
"Tak ada?"
"Kami kan orang nganggur. Memidahkan tidur penganggur dari rumah istrinya, lalu dikasi makan enak-enak, toh tidak ada yang rugi." katanya sambil terkekeh.
Keningku berkerut lama oleh cerita Si Dali itu. Dalam mata anganku terbayang lagi hingar-bingar masa itu. Tapi kini aktivis seperti Neli sudah menikah dan memperoleh anak. Haris menjadi dosen yang sibuk karena mendapat proyek penelitian. Alfonso merantau ke Jakarta. Di sana dia kawin lagi tanpa menceraikan istrinya yang beranak enam. Dan Si Dali, seperti kataku tadi, wajahnya secerah baju yang di pakainya.
0 comments:
Post a Comment