peluang usaha

Cerpen : Marah Yang Marasai

K
arena berdarah turunan bangsawan asal Padang,  setelah menikah  dia mendapat gelar warisan seperti ayahnya  juga, Marah. Maka nama lengkapnya menjadi Marah Ahmad. Baik  karena darah turunan, baik karena pendidikan dan  pergaulan, maupun karena pangkatnya sebagai pegawai pribumi yang  tinggi di Balai Kota, dia menjadi golongan angku-angku yang dihormati. Ketika tahu Belanda akan kalah perangnya  melawan  Jepang, kerisauan hati menimpanya. Risau yang  berat. Dari bacaan dia tahu kerajaan Jepang dikuasai oleh militer yang fasis,  yang memerintah  secara  totaliter. Artinya, kekuasaannya tidak tersentuh. Artinya, hukum negara  tidak berlaku terhadap mereka. Artinya, halal bagi mereka berbuat  apa saja terhadap rakyat. Maka mentalnya  Marah  Ahmad tidak siap menghadapi perobahan yang akan terjadi.

Sebagai pegawai negeri yang telah bertahun-tahun  mengabdi kepada sistem hukum berdasar undang-undang yang  berlaku, gamang juga dia menghadapi pemerintahan militer yang fasis  itu. Dia tidak tahu, apakah dia akan diterima terus bekerja oleh Jepang itu atau tidak. Kalau tidak, yah,  tak apalah.  Itu  malah lebih baik. Kalau  dimestikan  bekerja terus, apakah dia mampu? Dia yakin, tidak. 

Namun perasaan Marah Ahmad tercabik-cabik ketika  menghadapi peristiwa yang terjadi pada awal kedatangan tentera Jepang  itu. Pada mulanya dia heran. Bahkan  hampir  tidak percaya, bahwa tentera yang pendek-pendek dengan baju berwarna  oker seperti warna tanah yang kelihatan  kumal  dan tidak  rapi  pula, bisa mengalahkan militer  Belanda  yang perwiranya  pada  mentereng. Dia  teringat  ucapan  Chatib Jarin: "Jepang yang seperti monyet ini, kok bisa mengalahkan Belanda tanpa perang. Tapi mengapa Belanda bisa sampai ratusan tahun menjajah kita?"

Meski dia berduka oleh kehilangan atasannya yang Belanda, namun dia mengerti kalau seluruh penduduk mengelu-elukan Jepang, yang dipandang sebagai sang pembebas yang menjanjikan kehidupan baru. Mungkin karena rakyat tidak  pernah  merasa bersahabat dengan Belanda yang  penguasa  itu. Ada jarak yang terentang lebar pada  mereka. Bahkan  Marah Ahmad sendiri pun merasa ada jarak antara dia yang pegawai dengan  Belanda yang meski begok sekalipun.  Hubungan  dia dengan Belanda hanya di kantor, di luar itu jembatan penghubungnya putus.

Panglima militer sang pembebas itu minta kepada  pemimpin  masyarakat agar menjaga ketertiban dan keamanan  kota dan desa. Dan kata pemimpin itu kepada penduduk: "Kasi lihat pada Jepang itu, kita mampu mengurus negeri kita  sendiri tanpa mereka." Maka situasi memang aman. Baik  siang, maupun malam. Militer Jepang betul-betul tidak diperlukan. Serdadu dan perwira Jepang yang ketemu  di jalan, diperlakukan  rakyat  sebagai tamu asing  biasa  saja.  Anak-anak kecil saja yang suka berteriak "Banzai Nippon" bila mereka berpapasan.

Tapi setelah dua minggu dalam keadaan aman,  hingar-bingar terjadi di Kampung Cina. Ketika berita itu sampai  ke telinga Marah Ahamd, dia pikir bahwa perang Cina lawan Jepang di Tiongkok telah menular ke kota Padang. Akan tetapi ketika dia tahu bahwa rakyat yang merampoki toko-toko  Cina, Marah Ahmad bercarut-marut: "Kemarin-kemarin aman. Kok tiba-tiba  ada perampokan? Kemana Komite Keamanan  Rakyat? Kenapa bangsa ini tiba-tiba jadi biadab?"

"Apa salah Cina itu? Oo, karena Jepang berperang dengan mereka?  Apa hubungannya?" omelannya kepada  Chatib  Jarin ketika mereka ketemu pula. 

"Karena Cina itu kafir, Engku." kata Chatib Jarin.  "Di  zaman Nabi Muhammad, umatnya  berbaik-baik  dengan orang kafir, Chatib."

"Kafir  disana,  sama-sama Arab dengan  muslim.  Disini Cina. Tidak sama dengan kita, Engku."

"Ah, alasan murahan." sungut Marah Ahmad.                                   


Hari berikutnya, lebih banyak toko Cina yang  dijarahi. Penduduk desa dari tepi kota pun datang. Itu dapat dilihat Marah Ahmad dari jendela kantornya. Orang yang lewat  dari arah  kiri  bertangan kosong. Yang lewat dari  arah  kanan menggotong  macam-macam barang. Ada yang memikul  segulung kain. Ada yang memboyong peralatan makan atau dapur  atau rumah  tangga. Ada yang memikul beberapa ban  speda  atau suku cadangnya. Anak-anak pun ikut merampoki barang-barang yang barangkali mereka tidak tahu gunanya.  

"Biadab.  Biadab semua." kata Marah Ahmad dengan  suara yang  menggema ke seluruh ruang kantornya.  Sehingga  para pegawai yang ikut ramai-ramai di pintu kantor  menyaksikan orang-orang  yang habis merampok, pada menoleh  kepadanya.   

"Hai,  Kimin. Kok jadi begini bangsa kita?  Mana  agamanya yang mulia? Mana adatnya yang tinggi." katanya kepada  salah seorang pegawai yang berada di dekatnya.

"Ndak  tahulah, Engku." kata pegawai itu. Kemudian  dilanjutkannya: "Kata orang, Jepang itu yang mulai, Engku."

"Mereka juga merampok?"

"Kata orang, ada bangsa kita yang jadi kaki-tangan Jepang. Pada lengan kanannya pakai ban kain berhuruf F.  Diiringi dua orang serdadu. Dia  yang  mendobrak pintu toko. Lalu  membuang-buang barang ke luar. Kemudian, dia   suruh rakyat   menjarah.  Serdadu  itu  melihat   saja,   Engku. Sederetan toko Cina di jalan itu dirampoki. Kemudian orang itu pergi ke jalan lain. Toko Cina di sana disuruh  rampok juga,  Engku."  kata Kimin.

"Kemarin-kemarin  mereka minta orang menjaga  keamanan. Amaaan. Tapi kini mereka suruh orang mengacau.  Pemerintah macam  apa ini? Pemerintah bajak laut?" kata  Marah  Ahmad dengan  emosi  yang meluap-luap. Lalu dia masuk  ke  kamar kerjanya.  Duduk lunglai di kursi. Lama juga  dia  begitu. Setelah  itu  dia sandarkan kepalanya ke  sandaran  kursi. Sambil  menatap loteng dia berpikir, dan  berpikir  keras. Tapi  tidak  satupun  alasan  perampokan  itu  yang  dapat diterima akalnya.

Tiba-tiba, lewat tengah hari, dari arah jalan raya terdengar  hiruk-pikuk. Pegawai Balai Kota itu  serentak  berlompatan  ke  arah pintu. Marah Ahamd  berhenti  berpikir. Meski lesu dia ikut ke pintu. "Ada apa?" tanyanya. Dari seorang pegawai yang baru datang dari luar kantor, Marah  Ahmad  mendapat cerita,  bahwa  Kempetai  tiba-tiba datang.  Lalu menembak dua orang perampok. Dengan  lunglai Marah Ahmad kembali ke kursinya. Duduk terperengah. Perlahan-lahan muncul gambaran situasi dalam pikirannya.  Mulanya, Jepang itu minta agar penduduk menjaga keamanan. Lalu mereka suruh rakyat menjarah. Lalu, hari berikutnya mereka menembaki penjarah. Itu faktanya. Tapi mengapa?

Pertanyaan  itu berulang-ulang dalam  pikirannya.  Terhenti, ketika seorang perwira Jepang yang berpakaian rapi, dengan  kerah putih yang menyumbul keluar tengkuk  jasnya. Mengenakan  sepatu lars yang hampir sampai ke  lutut.  Dan pedang samurai tergantung pada pinggang kiri. Diiringi seorang ajudan, yang berpakaian hampir sama rapinya. Seorang Indonesia yang mengenakan jas dan dasi, yang wajahnya hampir-hampir dikenalnya, pun ikut.

Marah Ahmad menyongsong tamunya dengan gayanya yang kikuk,  karena tidak tahu cara menyambut yang  pantas.  Lalu perwira itu bicara dalam bahasanya dengan gaya yang terputus-putus. Orang Indonesia berdasi itu yang menerjemahkannya.  Meski  Marah Ahmad mengerti, namun dia  tidak  faham pada maksud sesungguhnya dari perwira itu. Rangkaian katakatanya  menurut  pemahaman Marah Ahmad,  ialah:  "Nippon-Indonesia  sama-sama. Tapi negeri ini tidak aman.  Dimana-mana  ada kekacauan. Bangsa Indonesia tidak bisa  mengurus negerinya sendiri. Mulai hari ini militer yang memerintah. Perwira ini jadi Walikota. Nippon-Indonesia sama-sama."

"Kamu licik." Marah Ahmad memaki dalam hatinya sehingga seluruh tubuhnya gementar karena menahan marah.

Kemudian  Marah  Ahmad melihat selebaran  terpasang  di dinding ruang depan kantornya. Isinya maklumat menyatakan, bahwa mulai hari itu kaum militer mengambil alih  pimpinan pemerintah. Seluruh kantor dan toko supaya dibuka seperti biasa.  Rakyat dilarang mengibarkan bendera  Merah  Putih. Waktu di jalan pulang, selebaran itu bertebaran pada  tembok-tembok pagar rumah penduduk. 

Kini Marah Ahmad baru tahu sandiwara model militer itu. Mereka  tidak suka negeri ini diurus oleh  rakyat  menurut cara  rakyat.  Militer ingin menguasai dan  berkuasa  atas semua  yang ada di bumi ini. Oleh karena negeri bisa  aman oleh rakyat sendiri, mereka buat provokasi supaya  situasi kacau. Kekacauan itu dijadikan dalih untuk mengambil kekuasaan ke dalam tangan-nya. Tapi mengapa kekacauan itu  diarahkan kepada Cina?

Berhari-hari kemudian dia baru sadar, mengapa toko-toko Cina dijadikan sasaran penjarahan. Bukan karena perseteruan kedua bangsa itu di Tiongkok. Melainkan cara yang  gampang untuk memancing sentimen rakyat. Sentimen yang ditumbuhkan dan dipelihara oleh pemerintahan kolonial selama ini, agar penduduk tetap terpecah-belah karena perbedaan ras, karena perbedaan suku dan perbedaan agama.

Marah Ahmad tidak bisa menerima taktik dan cara militer demikian.  Kalau mereka mau berkuasa mengapa harus  dengan taktik  dan cara yang kotor itu. Rakyat toh  tidak  berani melawan militer yang bersenjata.

Hari pertama Marah Ahmad masuk kantor, dia datang dengan setengah hati. Ketika dia pulang, hatinya yang setengah itu  tidak bersisa lagi. Soalnya, ketika  seluruh  pegawai dikumpulkan di lapangan Balai Kota untuk mengikuti upacara menaikkan bendera Hinomaru, seorang pegawai tua yang  buntal  tubuhnya,  digampar tentera kepalanya.  Karena  waktu membungkuk ke arah bendera itu, dia hanya menekurkan kepalanya saja. Maka hati Marah Ahmad tinggal seperempat. Lalu ketika  Walikota yang tentera itu memanggilnya  menghadap, dia  tidak membungkuk. Dia hanya mengangguk  saja  seperti yang  biasa dilakukannya bila menghadap Walikota yang  Belanda. Jepang itu berteriak-teriak. Meski Marah Ahmad  tidak mengerti bahasa Jepang sepotongpun, namun dia tahu dia dimaki-maki.  Kemudian dia disuruh keluar. Baru  saja  dia lewat  ambang pintu, dia dipanggil lagi. Marah Amad  tahu, bahwa dia disuruh membungkuk. Lalu dia membungkuk.  Persis saat  itulah  sisa hatinya habis. Besoknya dia  tidak mau masuk kantor lagi.

Menurut  cerita anak tertua Marah Ahmad kepada Si  Dali bertahun-tahun kemudian, sepuluh hari setelah tidak  masuk kantor, ayahnya dijempur Kempetai. Limabelas hari  setelah ditahan, dia dibebaskan oleh usaha sepupunya yang beristeri  Jepang.  Tapi pada hampir seluruh tubuhnya  ada  bekas memar. Dan ibu jari kakinya dibalut perban, karena kukunya dicabut Kempetai waktu disiksa dalam tahanan. Satu-satunya kalimat yang diucapkannya bebarapa hari setelah di  rumah, ialah: "Nippon-Indonesia sama-sama. Nipppn-Indonesia sama-sama."
Share On :
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di fianetred

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Template Fianet Red Two - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modifikasi by fianetmu.com
Proudly powered by Blogger